Al-Habib
Muhammad bin Husein Alaydrus (Habib Neon)
Ulama yang Berjuluk Habib Neon
Dia salah seorang ulama yang
menjadi penerang umat di zamannya. Cahaya keilmuan dan ahlaqnya menjadi teladan
bagi mereka yang mengikuti jejak ulama salaf
Suatu malam, beberapa tahun lalu,
ketika ribuan jamaah tengah mengikuti taklim di sebuah masjid di Surabaya,
tiba-tiba listrik padam. Tentu saja kontan mereka risau, heboh. Mereka satu
persatu keluar, apalagi malam itu bulan tengah purnama. Ketika itulah dari
kejauhan tampak seseorang berjalan menuju masjid. Ia mengenakan gamis dan
sorban putih, berselempang kain rida warna hijau. Dia adalah Habib Muhammad bin
Husein bin Zainal Abidin bin Ahmad Alaydrus yang ketika lahir ia diberi nama
Muhammad Masyhur.
Begitu masuk ke dalam masjid, aneh bin ajaib, mendadak masjid terang benderang
seolah ada lampu neon yang menyala. Padahal, Habib Muhammad tidak membawa obor
atau lampu. Para jamaah terheran-heran. Apa yang terjadi? Setelah diperhatikan,
ternyata cahaya terang benderang itu keluar dari tubuh sang habib. Bukan main!
Maka, sejak itu sang habib mendapat julukan Habib Neon …
Habib Muhammad lahir di Tarim, Hadramaut, pada 1888 M. Meski dia adalah seorang
waliyullah, karamahnya tidak begitu nampak di kalangan orang awam. Hanya para
ulama atau wali yang arif sajalah yang dapat mengetahui karamah Habib Neon.
Sejak kecil ia mendapat pendidikan agama dari ayahandanya, Habib Husein bin
Zainal Abidin Alaydrus. Menjelang dewasa ia merantau ke Singapura selama
beberapa bulan kemudian hijrah ke ke Palembang, Sumatra Selatan, berguru kepada
pamannya, Habib Musthafa Alaydrus, kemudian menikah dengan sepupunya, Aisyah
binti Musthafa Alaydrus. Dari pernikahan itu ia dikaruniai Allah tiga anak
lelaki dan seorang anak perempuan.
Tak lama kemudian ia hijrah bersama keluarganya ke Pekalongan, Jawa Tengah,
mendampingi dakwah Habib Ahmad bin Tholib Al-Atthas. Beberapa waktu kemudian ia
hijrah lagi, kali ini ke Surabaya. Ketika itu Surabaya terkenal sebagai tempat
berkumpulnya para ulama dan awliya, seperti Habib Muhammad bin Ahmad
al-Muhdhor, Habib Muhammad bin Idrus al-Habsyi, Habib Abu Bakar bin Umar bin
Yahya.
Selama mukim di Surabaya, Habib Muhammad suka berziarah, antara lain ke makam
para wali dan ulama di Kudus, Jawa Tengah, dan Tuban, Jawa Timur. Dalam ziarah
itulah, ia konon pernah bertemu secara ruhaniah dengan seorang wali
kharismatik, (Alm) Habib Abu Bakar bin Muhammad Assegaf, Gresik.
Open House
Seperti halnya para wali yang lain, Habib Muhammad juga kuat dalam beribadah.
Setiap waktu ia selalu gunakan untuk berdzikir dan bershalawat. Dan yang paling
mengagumkan, ia tak pernah menolak untuk menghadiri undangan dari kaum fakir
miskin. Segala hal yang ia bicarakan dan pikirkan selalu mengenai hal-hal yang
berkaitan dengan kebenaran agama, dan tak pernah berbicara mengenai masalah
yang tak berguna.
Ia juga sangat memperhatikan persoalan yang dihadapi oleh orang lain. Itu
sebabnya, setiap jam 10 pagi hingga waktu Dhuhur, ia selalu menggelar open
house untuk menmui dan menjamu para tamu dari segala penjuru, bahkan dari
mancanegara. Beberapa tamunya mengaku, berbincang-bincang dengan dia sangat
menyenangkan dan nyaman karena wajahnya senantiasa ceria dan jernih.
Sedangkan waktu antara Maghrib sampai Isya ia perguankan untuk menelaah
kitab-kitab mengenai amal ibadah dan akhlaq kaum salaf. Dan setiap Jumat ia
mengelar pembacaan Burdah bersama jamaahnya.
Ia memang sering diminta nasihat oleh warga di sekitar rumahnya, terutama dalam
masalah kehidupan sehari-hari, masalah rumahtangga, dan problem-problem
masyarakat lainnya. Itu semua dia terima dengan senang hati dan tangan terbuka.
Dan konon, ia sudah tahu apa yang akan dikemukakan, sehingga si tamu
manggut-manggut, antara heran dan puas. Apalagi jika kemudian mendapat jalan
keluarnya. “Itu pula yang saya ketahui secara langsung. Beliau adalah guru
saya,” tutur Habib Mustafa bin Abdullah Alaydrus, kemenakan dan menantunya,
yang juga pimpinan Majelis Taklim Syamsi Syumus, Tebet Timur Dalam Raya,
Jakarta Selatan.
Di antara laku mujahadah (tirakat) yang dilakukannya ialah berpuasa selama
tujuh tahun, dan hanya berbuka dan bersantap sahur dengan tujuh butir korma.
Bahkan pernah selama setahun ia berpuasa, dan hanya berbuka dan sahur dengan
gandum yang sangat sedikit. Untuk jatah buka puasa dan sahur selama setahun itu
ia hanya menyediakan gandum sebanyak lima mud saja. Dan itulah pula yang
dilakukan oleh Imam Gahazali. Satu mud ialah 675 gram. ”Aku gemar menelaah
kitab-kitab tasawuf. Ketika itu aku juga menguji nafsuku dengan meniru ibadah
kaum salaf yang diceritakan dalam kitab-kitab salaf tersebut,” katanya.
Habib Neon wafat pada 30 Jumadil Awwal 1389 H / 22 Juni 1969 M dalam usia 71
tahun, dan jenazahnya dimakamkan di Taman Pemakaman Umum Pegirikan, Surabaya,
di samping makam paman dan mertuanya, Habib Mustafa Alaydrus, sesuai dengan
wasiatnya. Setelah ia wafat, aktivitas dakwahnya dilanjutkan oleh putranya yang
ketiga, Habib Syaikh bin Muhammad Alaydrus dengan membuka Majelis Burdah di
Ketapang Kecil, Surabaya. Haul Habib Neon diselenggarakan setiap hari Kamis
pada akhir bulan Jumadil Awal.
——————————————————————————————-
Pewaris Rahasia Imam Ali Zainal
Abidin
Al-Habib Muhammad bin Husein
al-Aydrus lahir di kota Tarim Hadramaut. Kewalian dan sir beliau tidak begitu
tampak di kalangan orang awam. Namun di kalangan kaum ‘arifin billah derajat
dan karomah beliau sudah bukan hal yang asing lagi, karena memang beliau
sendiri lebih sering bermuamalah dan berinteraksi dengan mereka.
Sejak kecil habib Muhammad dididik
dan diasuh secara langsung oleh ayah beliau sendiri al-’Arifbillah Habib Husein
bin Zainal Abidin al-Aydrus. Setelah usianya dianggap cukup matang oleh
ayahnya, beliau al-Habib Muhammad dengan keyakinan yang kuat kepada Allah SWT
merantau ke Singapura.
أَََلَمْ َتكُنْ أَرْضُ اللهِ وَاسِعَةً فتَََهَاجَرُوْا فِيْهَا
Bukankah bumi Allah itu luas,
sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu? (Q.S an-Nisa’:97)
Setelah merantau ke Singapura,
beliau pindah ke Palembang, Sumatera Selatan. Di kota ini beliau menikah dan
dikaruniai seorang putri. Dari Palembang, beliau melanjutkan perantauannya ke
Pekalongan, Jawa Tengah, sebuah kota yang menjadi saksi bisu pertemuan beliau
untuk pertama kalinya dengan al-Imam Quthb al-Habib Abu Bakar bin Muhammad
as-Seggaf, Gresik. Di Pekalongan jugalah beliau seringkali mendampingi Habib
Ahmad bin Tholib al-Atthos.
Dari Pekalongan beliau pidah ke
Surabaya tempat Habib Musthafa al-Aydrus yang tidak lain adalah pamannya
tinggal. Seorang penyair, al-Hariri pernah mengatakan:
وَحُبِّ البِلَادَ فَأَيُّهَا أَرْضَاكَ فَاخْتَرْهُ وَطَنْ
Cintailah negeri-negeri mana saja
yang menyenangkan bagimu dan jadikanlah (negeri itu) tempat tinggalmu
Akhirnya beliau memutuskan untuk
tinggal bersama pamannya di Surabaya, yang waktu itu terkenal di kalangan
masyarakat Hadramaut sebagai tempat berkumpulnya para auliaillah. Di antaranya
adalah Habib Muhammad bin Ahmad al-Muhdor, Habib Muhammad bin Idrus al-Habsyi,
Habib Abu Bakar bin Umar bin Yahya dan masih banyak lagi para habaib yang
mengharumkan nama kota Surabaya waktu itu. Selama menetap di Surabaya pun Habib
Muhammad al-Aydrus masih suka berziarah, terutama ke kota Tuban dan Kudus
selama 1-2 bulan.
Dikatakan bahwa para sayyid dari
keluarga Zainal Abidin (keluarga ayah Habib Muhammad) adalah para sayyid dari
Bani ‘Alawy yang terpilih dan terbaik karena mereka mewarisi asrar
(rahasia-rahasia). Mulai dari ayah, kakek sampai kakek-kakek buyut beliau
tampak jelas bahwa mereka mempunyai maqam di sisi Allah SWT. Mereka adalah
pakar-pakar ilmu tashawuf dan adab yang telah menyelami ilmu ma’rifatullah,
sehingga patut bagi kita untuk menjadikan beliau-beliau sebagai figur teladan.
Diriwayatkan dari sebuah kitab
manaqib keluarga al-Habib Zainal Abidin mempunyai beberapa karangan yang
kandungan isinya mampu memenuhi 10 gudang kitab-kitab ilmu ma’qul/manqul
sekaligus ilmu-ilmu furu’ (cabang) maupun ushul (inti) yang ditulis berdasarkan
dalil-dalil jelas yang hasilnya dapat dipertanggungjawabkan sebagaimana yang
telah diriwayatkan oleh para pakar dan ahli (para ashlafuna ash-sholihin).
Habib Muhammad al-Aydrus adalah tipe
orang yang pendiam, sedikit makan dan tidur. Setiap orang yang berziarah kepada
beliau pasti merasa nyaman dan senang karena memandang wajah beliau yang ceria
dengan pancaran nur (cahaya). Setiap waktu beliau gunakan untuk selalu
berdzikir dan bersholawat kepada datuk beliau Rasulullah SAW. Beliau juga gemar
memenuhi undangan kaum fakir miskin. Setiap pembicaraan yang keluar dari mulut
beliau selalu bernilai kebenaran-kebenaran sekalipun pahit akibatnya. Tak
seorangpun dari kaum muslimin yang beliau khianati, apalagi dianiaya.
Setiap hari jam 10 pagi hingga
dzuhur beliau selalu menyempatkan untuk openhouse menjamu para tamu yang datang
dari segala penjuru kota, bahkan ada sebagian dari mancanegara. Sedangkan waktu
antara maghrib sampai isya’ beliau pergunakan untuk menelaah kitab-kitab yang
menceritakan perjalanan kaum salaf. Setiap malam Jum’at beliau mengadakan
pembacaan Burdah bersama para jamaahnya.
Beliau al-Habib Muhammad al-Aydrus
adalah pewaris karateristik Imam Ali Zainal Abidin yang haliyah-nya agung dan
sangat mulia. Beliau juga memiliki maqam tinggi yang jarang diwariskan kepada
generasi-generasi penerusnya. Dalam hal ini al-Imam Abdullah bin Alwi al-Haddad
telah menyifati mereka dalam untaian syairnya:
ثبتوا على قـدم النبى والصحب # والتـابعين لهم فسل وتتبع
ومضو على قصد السبيل الى
العلى# قدما على قدم
بجد أوزع
_Mereka tetap dalam jejak Nabi dan
sahabat-sahabatnya
Juga para tabi’in. Maka tanyakan kepadanya dan ikutilah jejaknya_
_Mereka menelusuri jalan menuju
kemulyaan dan ketinggian
Setapak demi setapak (mereka telusuri) dengan kegigihan dan kesungguhan_
Diantara mujahadah beliau r.a,
selama 7 tahun berpuasa dan tidak berbuka kecuali hanya dengan 7 butir kurma.
Pernah juga beliau selama 1 tahun tidak makan kecuali 5 mud saja. Beliau pernah
berkata, “Di masa permulaan aku gemar menelaah kitab-kitab tasawuf. Aku juga
senantiasa menguji nafsuku ini dengan meniru perjuangan mereka (kaum salaf)
yang tersurat dalam kitab-kitab itu”.
Habib Muhammad
bin Idrus Al-Habsyi (Surabaya)
Habib Muhammad bin Idrus Al-Habsyi
lahir di kota Khola’ Rasyid, Hadramaut, pada tahun 1265 H. Ayah beliau, Al-Imam
Al-‘Arifbillah Al-habib Idrus bin Muhammad Al-Habsyi telah dahulu datang ke
Indonesia untuk berdakwah. Beliau wafat dan di makamkan di kota CIrebon.
Sedangkan ibu beliau di asuh oleh pamannya, Al-Habib Sholeh bin Muhammad
Al-Habsyi. Sejak itu beliau besar dalam didikan pamannya. Sang paman inilah
yang membentuk jiwa dan kepribadian Habib Muhammad bin Idrus Al-Habsyi.
Pada mudanya, Habib Muhammad bin Idrus Al-habsyi giat dalam menuntut
ilmu. Walaupun usianya masih muda, beliau mampu dengan mudah menguasai dan
memahaminya. Berbagai ilmu agama yang beliau dapatkan dari para ilama dan
auliya’, diantaranya ilmu tafsir, hadis dan fikih. Para gurunya telah menyaksikan
ketaqwaan dan kedudukan beliau sebagai seorang yang tak kenal lelah dalam
mengamalkan ilmunya. Salah seorang auliya’ Al-Imam Al-Qutub Al-Habib Ali
bin Muhammad Al-Habsyi (Shahib Maulid Simtudurrar) telah mengutarakan dalam
surat-menyurat beliau : “Sesungguhnya orang-orang berpergian ke Indonesia untuk
bekerja dan mencari harta keduniaan, akan tetapi, putra kami Habib Muhammad bin
Idrus Al-habsyi bekerja untuk Allah, dia berdakwah untuk mencapai
Ash-Shidiqiyyah Al-kubra.” (Tingkat tertinggi dikalangan Auliya). Ketika
beranjak remaja beliau pergi ke tanah suci untuk menunaikan obadah haji dan
berziarah ke makam datuknya Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam di Madinah.
Disana beliau menetap beberapa waktu. Hal itu dipergunakan oleh beliau untuk menimba
ilmu dari para ulama yang berada di Haramain (Mekkah dan Madinah), diantaranya
kepada Al-Imam Al-habib Husein bin Muhammad Al-Habsy. Sebagaimana para
pendahulunya, beliau berdakwah dari satu daerah ke daerah yang lain. Dalam
setiap kali perjalanannya itu, beliau tidak bermalam di sebuah tempat yang di
singgahi kecuali di tempat tersebut terdapat Ahlul Bait Rasulullah Shallahu
‘alaihi Wassalam.
Habib Muhammad bin Idrus Al-habsyi
di kenal memiliki akhlak serta budi pekerti yang luhur, beliau murah tangan dan
kasih saying terhadap sesame. Hrta miliknya tidak segan-segan diberikan kepada
siapapun yang membutuhkannya. Beliau adalah seorang tutur katanya lemah lembut
serta penuh dengan hikmah dan selalu tersenyum bila bertemu dengan siapapun.
Ahklak dan perangainya meneladani datuknya, Rasulullah shallahu ‘alaiyhi
wassalam. Beliau memelihara anak-anak yatim di rumahnya.
Anak-anak yatim menganggap Habib Muhammad bin Idrus Al-habsyi adalah ayah
mereka sendiri, di dalam memberikan pakaian, makanan, minuman dan tempat tidur.
Apabila anak-anak yatim itu telah beranjak dewasabeliau yang mengurus
perkawinan mereka dan memberikan segala sesuatu yang mereka butuhkan. Tidak
mengherankan, jika beliau dianggap sebagai ayah dari anak-anak yatim tersebut.
Rumah beliau selalu terbuka bagi para tetamu yang datang. Tidak sedikit
para tamu tersebut yang menginap di rumah beliau, dan beliau sendirilah yang
menyiapkan dan melayani kebutuhan para tamunya itu. Setiap tamu yang dating ke
tempat beliau, baik dalam maupun luar kota selalu disambut dengan ramah dan
sendang hati, bahkan apabila tamu yang datang orang yang tidak mampu, maka
diberikan kepadanya ongkos untuk pulang dengan disertai hadiah utnuk anak dan
istrinya. Hal ini yang menjadikan Habib Muhammad bin Idrus Al-habsyi begitu
disegani dan dicintai masyarakat luas. Beliau memiliki kebiasaan mendamaikan
dua belah pihak yang bertengkar dan berselisih faham. Meskipun masalah itu
besar dan sulit, tapi dapat beliau selesaikan dengan baik. Sebagian amal
jariyah beliau, diantaranya adalah, pembangunan masjid di Purwakarta,
pembangunan Masjid Ar-Raudhah di kota Jombang, dan lain-lainnya. Beliau sebagai
perintis pertama pengadaan haul para auliya’ dan kaum shalihin baik yang masih
hidup ataupun yang sudah meninggal. Untuk pertama kalinya, beliau mengadakan
haul guru beliau Al-Imam Al-hHabib Muhammad bin Thohir Al-Haddad, yang makamnya
berada di kota Tegal. Beliau senantiasa berziarah ke tempat para auliya’ dan
shalihin, baik yang masih hidup ataupun yang sudah meninggal yang di ikuti oleh
khalaya ramai. Semasa hidurpnya, beliau selalu taat dan takwa kepada
Allah dan Rasul-Nya, serta senantiasa menladani para shalaf bani alawi yang
merupakan leluhurnya. Beliau selalu memberikan maanfaat kepada para hamba
Allah, dengan memanfaakan waktu, umur, serta membelanjakan hartanya di jalan
Allah hingga akhir hayatnya. Habib Muhammad bin Idrus Al-habsyi wafat
pada pertengahan malam, hari rabu, 12 Rabiul Tsani 1337 H, di Kota Surabaya.
Jasad beliau di makamkan dalam Qubbha di pemakaman Al-Habib Hasan Al-Habsyi di
kawasan Masjdi Ampel Surabaya, pada hari Rabu waktu Ashar. Bertindak sebagai
imam dalam shalat jenazah beliau adalah, Al-habib Muhammad bin Ahmad
Al-Muhdhorm, yang merupakan menantu, murid sekaligus sahabat beliau.
Al-Habib Muhammad bin
Idrus Alhabsyi
Ayah bagi Fakir Miskin dan Anak
Yatim
Dia peduli pada nasib fakir miskin
dan anak yatim. Itu sebabnya ia dijuluki sebagai ayah anak yatim dan fakir
miskin.
Sebagian kaum muslimin di Jawa
Timur, khususnya di Surabaya, tentu mengenal Habib Muhammad bin Idrus Alhabsyi,
yang mukim di Surabaya pada pertengahan abad ke-20 silam. Ia adalah seorang
habib dan ulama besar, yang wafat di Surabaya pada malam Rabu, 12 Rabi’ul Akhir
1337 H /1917 M. Jenazahnya dimakamkan di Pemakaman Ampel Gubah, Kompleks Masjid
Ampel, Surabaya.
Habib Muhammad bin Idrus Alhabsyi lebih dikenal sebagai ulama yang mencintai
fakir miskin dan anak yatim. Itu sebabnya kaum muslimin menjulukinya sebagai
“bapak kaum fakir miskin dan anak yatim.” Semasa hidupnya ia rajin berdakwah ke
beberapa daerah. Dalam perjalanan dakwahnya, ia tak pernah menginap di hotel
melainkan bermalam di rumah salah seorang habib.
Hampir setiap hari banyak tamu yang bertandang ke rumahnya, sebagian dari
mereka datang dari luar kota. Ia selalu menyambut mereka dengan senang hati dan
ramah. Jika tamunya tidak mampu, ia selalu mempersilakannya menginap di
rumahnya, bahkan memberinya ongkos pulang disertai beberapa hadiah untuk
keluarganya.
Ia juga memelihara sejumlah anak yatim yang ia perlakukan seperti halnya anak
sendiri. Itu sebabnya mereka menganggap Habib Muhammad sebagai ayah kandung
mereka sendiri. Tidak hanya memberi mereka tempat tidur, pakaian dan makanan,
setelah dewasa pun mereka dinikahkan.
Habib Muhammad bin Idrus Alhabsyi lahir di kota Khala’ Rasyid, Hadramaut, Yaman
Selatan, pada 1265 H atau 1845 M. Sejak kecil ia diasuh oleh pamannya, Habib
Shaleh bin Muhammad Al-Habsyi. Ayahandanya, Habib Idrus bin Muhammad Alhabsyi,
berdakwah ke Indonesia dan wafat pada 1919 M di Jatiwangi, Majalengka. Sedangkan
ibunya, Syaikhah Sulumah binti Salim bin Sa’ad bin Smeer.
Seperti hanya para ulama yang lain, di masa mudanya Habib Muhammad juga rajin
menuntut ilmu agama hingga sangat memahami dan menguasainya. Beberapa ilmu
agama yang ia kuasai, antara lain, tafsir, hadits dan fiqih. Menurut Habib Ali
bin Muhammad Alhabsyi, seorang ulama terkemuka, “Sesungguhnya orang-orang
Hadramaut pergi ke Indonesia untuk bekerja dan mencari harta, tetapi putra kami
Muhammad bin Idrus Al-Habsyi bekerja untuk dakwah Islamiyyah dalam rangka
mencapai ash-shidqiyyah al-kubra, maqam tertinggi di kalangan para waliyullah.”
Ketika menunaikan ibadah haji ke Makkah dan berziarah ke makam Rasulullah SAW
di Madinah, ia sekalian menuntut ilmu kepada beberapa ulama besar di Al-Haramain
alias dua kota suci tersebut. Salah seorang di antara para ulama besar yang
menjadi gurunya adalah Habib Husain bin Muhammad Al-Habsyi.
Banyak kalangan mengenal Habib Muhammad sebagai ulama yang berakhlak mulia, dan
sangat dermawan. Ia begitu ramah dan penuh kasih sayang, sehingga siapa pun
yang sempat duduk di sampingnya merasa dirinyalah yang paling dicintai. Ia
selalu tersenyum, tutur katanya lemah lembut. Itu semua tiada lain karena ia
berusaha meneladani akhlaq mulia Rasulullah SAW.
Tak heran jika masyarakat di sekitar rumahnya, bahkan juga hampir di seluruh
Surabaya, sangat mencintai, hormat dan segan kepadanya. Ia juga dikenal sebagai
juru damai. Setiap kali timbul perbedaan pendapat, konflik, pertikaian di
antara dua orang atau dua fihak, ia selalu tampil mencari jalan keluar dan
mendamaikannya. Sesulit dan sebesar apa pun ia selalu dapat menyelesaikannya.
Sebagai dermawan, ia juga dikenal gemar membangun tampat ibadah. Ia, misalnya,
banyak membantu pembangunan beberapa masjid di Purwakarta (Jawa Tengah) dan
Jombang (Jawa Timur). Dialah pula yang pertama kali merintis penyelenggaraan
haul para waliyullah dan shalihin. Untuk pertama kalinya, ia menggelar haul
Habib Muhammad bin Thahir Al-Haddad di Tegal, Jawa Tengah. Ia juga merintis
kebiasaan berziarah ke makam para awliya dan shalihin.
Menjelang wafatnya, ia menyampaikan wasiat, ”Aku wasiatkan kepada kalian agar
selalu ingat kepada Allah SWT. Semoga Allah SWT menganugerahkan keberkahan
kepada kalian dalam menegakkan agama terhadap istri, anak dan para pembantu
rumah tanggamu. Hati-hatilah, jangan menganggap remeh masalah ini, karena
seseorang kadang-kadang mendapat musibah dan gangguan disebabkan oleh
orang-orang di bawah tanggungannya, yaitu isteri, anak, dan pembantu. Sebab,
dia adalah pemegang kendali rumah tangga.”
Al-Habib
Umar Al-Muhdhor
Beliau adalah anak lelaki Syeikh
Abdurrahman As-Seggaf. Beliau seorang wali besar yang mempunyai karamah luar
biasa. Karamahnya banyak diceritakan orang.
Sebahagian dari karamah beliau
ialah semua harta bendanya dibiarkan begitu saja tanpa dijaga sedikitpun.
Anehnya siapa saja yang berani mengganggunya pasti terkena bencana seketika itu
juga. Sampaipun jika ada seekor binatang yang berani mengganggu tanamannya
tanpa pengetahuan beliau, binatang itu akan mati seketika itu juga.
Diriwayatkan ada seekor burung
gagak yang makan pohon kurmanya. Burung itu segera dihalaukannya. Tidak lama
kemudian, burung gagak itu pun kembali makan pohon kurma beliau. Dengan izin
Allah burung gagak itu tersungkur mati seketika itu juga.
Sebahagian pelayan beliau ada yang
mengadukan tentang banyaknya kijang yang menyerang kebun beliau dan tetangga
beliau banyak yang mentertawakannya. Beliau menyuruh pelayannya berseru untuk
menyuruh semua kijang yang berada di kebun beliau segera meninggalkan tempat
menuju ke kebun tetangga beliau yang mentertawakannya. Dengan izin Allah semua
kijang itu menyingkir pindah ke kebun tetangga yang mentertawakan beliau.
Terkecuali hanya seekor kijang saja yang tidak mahu berpindah. Dengan mudah
kijang tersebut dipegang oleh beliau dan disembelih.
Salah seorang pelayan beliau
bercerita: “Ayah saudaraku mempunyai anak perempuan yang cantik. Setiap kali
dipinang orang anak perempuan itu selalu menolak pinangannya. Aku mengadukan
hal itu kepada Sayid Umar Al-Muhdhor. Jawab beliau: “Anak perempuan ayah
saudaramu itu tidak akan berkahwin selain dengan engkau, dan engkau akan
menapatkan seorang anak lelaki daripadanya”. Aku rasa apa yang dikatakan oleh
Sayid Umar Al-Muhdhor itu tidak mungkin akan terjadi pada diriku yang sefakir
ini. Dengan izin Allah aku pun dipinang oleh anak perempuan ayah saudaraku itu.
Aku kahwin dengan anak perempuan ayah saudaraku dan mendapatkan seorang anak
lelaki seperti yang dikatakan oleh Sayid Umar Al-Muhdhor”.
Seorang datang mengadu pada beliau:
“Kalung isteriku dicuri”. Sayid Umar Al-Muhdhor berkata: “Katakan pada orang
banyak di sekitarmu, siapa yang merasa mengambil kalung itu hendaknya segera
dikembalikan, kalau tidak dalam waktu tiga hari ia akan mati dan kalung
tersebut akan kamu temui pada baju pencuri itu”. Perintah beliau dijalankan
oleh lelaki tersebut. Tapi tidak seorangpun yang mengaku perbuatannya. Setelah
tiga hari ia dapatkan orang yang mencuri kalung isterinya itu mati. Waktu
diperiksa ia dapatkan kalung isterinya itu berada dalam pakaian si mayat
sebagaimana yang dikatakan oleh Sayid Umar.
Pernah beliau memberi kepada
kawannya segantang kurma yang ditempati dalam keranjang. Setiap hari orang itu
mengambilnya sekadar untuk memberi makan keluarganya. Segantang kurma itu
diberi berkat oleh Allah sehingga dapat dimakan selama beberapa bulan. Melihat
kejadian itu si isteri tidak tahan untuk tidak menimbangnya. Waktu ditimbang
ternyata hanya segantang saja seperti yang diberikan oleh Sayid Umar Al-Mudhor.
Anehnya setelah ditimbang kurma itu hanya cukup untuk beberapa hari saja. Waktu
keluarga itu mengadukan kejadian itu pada Sayid Umar beliau hanya menjawab:
“Jika kamu tidak timbang kurma itu, pasti akan cukup sampai setahun”.
Doa beliau sangat mujarab, banyak
orang yang datang pada beliau untuk mohon doa. Ada seorang wanita yang
menderita sakit kepala yang berpanjangan. Banyak doktor dan tabib yang
dimintakan pertolongannya. Namun tidak satupun yang berhasil. Si wanita itu
menyuruh seorang untuk memberitahukan penderitaannya itu kepada Sayid Umar
Al-Muhdhor. Beliau berkunjung ke rumah wanita yang sakit kepala itu dan
mendoakan baginya agar diberi sembuh. Dengan izin Allah wanita itu segera
sembuh dari penyakitnya.
Ada seorang lelaki yang mengadu pada
beliau bahawa ia telah kehilangan wang yang berada di dalam pundi-pundinya.
Beliau berdoa kepada Allah mohon agar wang lelaki itu dikembalikan. Dengan izin
Allah pundi-pundi itu dibawa kembali oleh seekor tikus yang menggondolnya.
Karamah beliau banyak sekali
sehingga sukar untuk disebutkan semua. Beliau wafat di kota Tarim pada tahun
833 H dalam keadaan bersujud waktu bersolat Zohor. Beliau dimakamkan di
perkuburan Zanbal.